Kisah Terindah di Dunia (37)
https://www.naviri.org/2016/08/kisah-terindah-di-dunia-37.html
Naviri.Org - Ayahku, Nazar, dan ibuku, Karima, saat ini masih hidup dan sehat wal afiat. Aku selalu suka saat mendengar mereka menceritakan segala kisah yang telah kutuliskan tadi—meski aku telah berulang-ulang kali mendengarnya dari mereka.
Aku juga diberi kesempatan oleh Tuhan untuk dapat menyaksikan sosok istimewa nenekku—Amina—karena Tuhan memberikan umur yang panjang untuk nenekku hingga berusia 72 tahun. Nenekku meninggal beberapa bulan yang lalu, dan aku merasa sangat kehilangan. Dia nenek terhebat yang pernah kukenal—sosok yang begitu tegar dan penuh kearifan.
Di saat-saat akhir kehidupannya di dunia ini, aku sering menemani nenekku di atas tempat tidurnya, dan aku selalu menikmati saat-saat bersamanya.
Suatu hari, ketika aku menemaninya ngobrol di kamarnya, nenekku berkata sambil tersenyum, “Anisa, apakah ayahmu pernah menceritakan kepadamu tentang hubungan yang pernah dijalinnya dengan nenekmu ini?”
Aku membalas senyumnya, dan mengangguk. Aku memahami apa yang dimaksudkannya. Dan nenekku tersenyum dengan rona merah menjalari pipinya. Aku seperti menyaksikan seorang gadis muda yang kembali terkenang akan kekasih yang pernah dimilikinya.
“Hidup ini luar biasa, Anisa,” ujar nenekku kemudian, “begitu pula cinta. Dan aku bersyukur telah menjalani saat-saat yang luar biasa itu. Kehidupan... Cinta... Kau tak pernah tahu apa yang akan diberikan kehidupan ini kepadamu, sebagaimana kau tak pernah tahu apa yang akan diberikan oleh cinta kepadamu. Namun, kau akan selalu percaya, bahwa cinta yang kau miliki tak akan pernah hilang. Ia selalu abadi. Mungkin sosok yang kau cintai tak dapat kau miliki, tapi ia pasti akan datang kembali, dan mungkin akan menjadi milik anakmu...dan kau pun akan tahu bahwa cinta itu abadi. Kau akan tetap dapat tersenyum penuh kebahagiaan karena melihatnya bahagia, meski kau tidak dapat memilikinya...”
***
Ehm, hari ini aku memang telah memiliki seorang kekasih—dan kami saling mencintai. Dan aku selalu percaya pada apa yang dikatakan oleh nenekku, bahwa cinta itu abadi—ia tak pernah hilang. Mungkin suatu saat—suatu hari yang tak pernah kusangka-sangka—kekasihku akan hilang, atau pergi, atau meninggalkan diriku, namun aku percaya—sebagaimana yang dikatakan oleh nenekku—bahwa cinta itu tetap abadi.
Mungkin aku tak dapat memiliki sosok yang kucintai itu, namun...aku selalu dapat tersenyum saat mendengar atau melihatnya bahagia—karena cinta adalah mengharapkan kebahagiaan bagi sosok yang kita cintai.
Nenekku benar. Cinta itu abadi.