Kisah Terindah di Dunia (34)
https://www.naviri.org/2016/08/kisah-terindah-di-dunia-34.html
Naviri.Org - “Benarkah selama itu...?” Nazar seperti tak bisa mempercayai kenyataan itu.
“Kau bisa melihat diriku, Nazar.” Amina berkata perlahan-lahan, “Aku telah setua ini dan aku telah memiliki anak perempuan yang mungkin seusia denganmu sekarang. Kau telah menghilang selama tiga puluh tahun lebih. Tapi...kenapa kau masih semuda seperti saat kau menghilang dulu? Apa yang telah terjadi denganmu...?”
Nazar melirik minuman dan makanan di atas meja, dan Amina seperti baru tersadar akan hal itu. Dengan terburu-buru Amina berkata, “Oh ya, Karima menyediakan itu untukmu. Makanlah.”
Dan Nazar yang merasa begitu kelaparan itu pun segera menikmati makanan di atas meja itu, sementara Amina duduk di kursi di hadapannya. Nazar jadi teringat saat pertama kali ia terbangun dari tidurnya—atau pingsannya—saat ia sampai di negeri antah-berantah, dan saat ia terbangun ia pun mendapati seorang perempuan dengan makanan dan minuman yang disuguhkan untuknya.
Tetapi ini bukanlah negeri antah-berantah, batin Nazar dengan pasti, ini adalah dunianya sendiri—dunia yang pernah ditinggalkannya, dunia yang memang telah ditujunya. Dan sekarang ia telah bertemu dengan sosok yang paling dirindukannya selama ia berada di negeri antah-berantah itu—sosok Amina, kekasihnya, namun ternyata kenyataan—dan waktu—telah mengubah segalanya.
Ketika telah selesai menikmati makanannya dan merasa cukup kenyang, Nazar pun mulai menceritakan apa yang telah terjadi dengan dirinya di negeri bawah air itu—di negeri antah-berantah yang telah memisahkan dirinya dengan Amina selama ini.
Nazar menceritakannya dengan seruntut mungkin—sejauh yang dapat diingatnya, dari sejak pertama kali ia diculik saat melewati kebun tebu untuk bertemu dengan Amina di tempat pagelaran layar tancap itu, sampai kenekatannya menembus pusaran waktu hingga ia bisa sampai kembali ke dunianya—dan Amina mendengarkan semuanya itu dengan terkesima, sambil sesekali tersenyum, lalu menangis, dan tersenyum kembali...
“Itu...itu kisah yang luar biasa, Nazar,” kata Amina dengan takjub. “Dan menurutku, yang paling luar biasa adalah; kau bisa kembali ke sini.”
“Itu karena aku selalu ingin kembali bertemu denganmu, Amina.”
“Dan sekarang kau telah bertemu kembali denganku, namun semuanya telah berubah, kan?” Amina menatap Nazar dengan mata yang kembali berkaca-kaca.
Lalu Amina pun menceritakan segala yang telah dilewatinya. Tahun-tahun penuh kekeringan saat ia merasa ditinggalkan dan dilupakan oleh Nazar, hingga pernikahannya dengan Basir yang telah memberikannya seorang anak perempuan, hingga kematian suaminya, dan Amina pun mengisahkan kisah tragis yang terjadi pada orangtua Nazar yang mengalami bencana kebakaran yang telah menghanguskan rumah mereka—bertahun-tahun yang lalu.
“Jadi suamimu telah meninggal?” tanya Nazar kemudian.
Amina mengangguk dengan sedih. “Maafkan aku, Nazar...”
“Kau tentu tak perlu minta maaf, Amina. Akulah seharusnya yang meminta maaf kepadamu. Kau telah menderita selama aku hilang bertahun-tahun yang lalu...”
***
Perjumpaan sepasang kekasih yang kini telah berbeda usia itu seperti menjadi reuni tanpa akhir. Nazar menanyakan pada Amina tentang banyak hal—tentang sahabat-sahabat yang dulu dimilikinya, kampung halamannya, kawan-kawannya, kehidupan di Pekalongan selama ia tak ada—dan Amina menjawab semuanya dengan sabar, seperti kesabaran seorang ibu yang menjawab pertanyaan-pertanyaan anak lelakinya.
Ketika Nazar memandang dirinya sendiri melalui cermin di rumah Amina, Nazar memang mendapati dirinya masih berusia 20 tahun, masih semuda dulu—saat pertama kali ia sampai di negeri antah-berantah itu. Namun segala yang kini dihadapinya telah jauh berubah—waktu tiga puluh satu tahun telah mengubah segalanya—kecuali dirinya sendiri. Kotanya telah banyak berubah. Kampung halamannya. Sahabat-sahabatnya. Tetangga-tetangganya. Bahkan mata uang yang berlaku pada waktu itu pun telah berubah.
Bersambung ke: Kisah Terindah di Dunia (35)