Kisah Terindah di Dunia (33)
https://www.naviri.org/2016/08/kisah-terindah-di-dunia-33.html
Naviri.Org - “Aku bukan Amina,” ucap perempuan itu kemudian.
“Tapi kau benar-benar mirip Amina,” ujar Nazar seperti memaksa.
Entah mengapa, perempuan itu kini tersenyum, kemudian menjawab dengan ramah, “Memang banyak yang mengatakan seperti itu. Tapi aku bukan Amina. Aku Karima. Amina itu ibuku.”
Dan Nazar pun pingsan.
***
Ketika Nazar siuman dari pingsannya, ia mendapati dirinya berada di atas sebuah balai-balai, di sebuah ruangan yang asing. Oh tidak, pikir Nazar dengan panik saat ia kembali teringat ketika pertama kalinya ia sampai di negeri antah-berantah yang dulu pernah disinggahinya. Apakah sekarang aku telah kembali di negeri itu lagi?
Dengan perasaan panik tak karuan, Nazar segera bangkit dari berbaringnya, dan memperhatikan ruangan tempatnya berada. Aku harus segera kabur dari sini, pikirnya.
Tetapi sebelum sempat Nazar kabur, pintu ruangan itu terbuka dan perempuan berwajah lembut dengan rambut dikepang dua muncul di ambang pintu dengan membawa sebuah nampan.
“Amina...?” Nazar menatap perempuan itu, sementara si perempuan meletakkan nampan di atas meja di dekat balai-balai. Nazar melihat ada segelas teh di atas nampan itu, juga beberapa makanan.
Perempuan itu berdiri menghadapi Nazar, dan tersenyum. “Seperti yang kubilang tadi, aku Karima. Amina itu ibuku.”
Lalu sesosok perempuan yang jauh lebih tua muncul di ambang pintu—dengan ekspresi wajah yang tak dapat dipahami, dan Nazar menyaksikan kedua mata perempuan itu berkaca-kaca.
“Nazar...?” desis perempuan itu dengan bibir bergetar.
Nazar mengangguk, namun ia masih bingung untuk mengenali sosok perempuan di hadapannya itu—hanya seraut wajah yang masih membekas samar-samar di wajah perempuan itu sekarang—seraut wajah yang dulu pernah dikenalinya...
“Aku Amina...” kata perempuan itu lagi dengan bibir yang makin bergetar.
Dan Nazar merasakan perutnya tiba-tiba bergolak. Seperti ada seribu kupu-kupu yang beterbangan di dalam perutnya, sementara seribu kunang-kunang bertebaran di sekitar kepalanya. Perjalanan waktu... pusaran waktu... waktu-waktu yang berlalu... dan sekarang Amina yang dulu dikenalnya begitu muda itu kini telah menjadi ibu...
Dengan perasaan yang tak karuan, dan didorong oleh kerinduannya yang tak pernah padam, Nazar bangkit dari duduknya dan mendekap sosok perempuan di hadapannya. Dan Amina tak mampu lagi untuk menahan air matanya.
“Kau Nazar...” ucap Amina terbata di antara isaknya. “Sejak pertama kali melihatmu... tergeletak pingsan... di sana... aku tahu... aku telah tahu... kau Nazar...”
Nazar tak mampu berkata apa-apa. Ia tak tahu berapa lamakah waktu yang telah dilaluinya—yang telah ditinggalkannya—hingga mengubah sosok Amina telah begitu jauh meninggalkan keremajaannya.
Saat mereka mulai melepaskan pelukan dan dekapannya masing-masing, Amina masih memandangi Nazar seperti ketika pertama kali ia menemukannya.
“Kau masih semuda dulu, Nazar,” ucapnya dengan parau. “Kau masih semuda dulu...seperti saat kau masih...” Amina tak melanjutkan ucapannya.
Dan Nazar mengerti.
“Sekarang aku rasanya pantas menjadi ibumu,” kata Amina lagi dengan suara yang sama paraunya. “Apa...apa yang terjadi denganmu, Nazar...? Apa yang telah terjadi hingga kau bisa hilang dan...dan kembali dengan keajaiban seperti ini...?”
“Amina,” kata Nazar dengan perlahan. Ia jadi merasa tidak sopan memanggil perempuan itu hanya dengan namanya—meski ia tahu kalau dulu perempuan ini adalah kekasihnya. “Berapa tahunkah aku menghilang? Hm...tahun berapakah sekarang?”
“Ini tahun 1985,” jawab Amina dengan pasti.
“Oh, ya Tuhan!” desis Nazar dengan terkejut. “Jadi...”
“Ya,” sahut Amina dengan perlahan, “jadi kau telah menghilang selama 31 tahun—semenjak pertama kali kau menghilang, aku selalu menghitung tahun demi tahun.”
Bersambung ke: Kisah Terindah di Dunia (34)