Kisah Terindah di Dunia (17)
https://www.naviri.org/2016/08/kisah-terindah-di-dunia-17.html
Naviri.Org - Nazar memang tahu—dan bisa merasakan di lidahnya—bahwa itu daging kambing. Dulu, saat ayahnya masih kaya, ia sering menikmati masakan daging kambing dan ia sudah cukup hafal bagaimana rasanya. Daging kambing yang tengah dirasakannya ini pun terasa begitu lezat di lidahnya. Dagingnya terasa empuk dan mudah lumat saat ia kunyah dalam mulutnya.
Kini pandangan Nazar tertuju pada nasi putih yang terlihat masih hangat.
“Itu juga nasi yang sama—seperti yang biasa kau makan,” ucap Laras memberikan penjelasan dengan sabar. “Di duniamu, kau makan nasi, kan?”
“Apakah di sini ada sawah?” tanya Nazar dengan bingung. “Maksudku, kalau itu nasi asli yang ditumbuhkan padi, apakah di negeri ini juga ada sawah?”
“Tidak,” jawab Laras dengan pasti.
Nazar langsung menjauhkan tangannya dari piring nasinya.
Laras tertawa kecil (lagi) melihat itu, kemudian memberikan penjelasannya, “Setiap bulan sekali, Ibu Ratu atau utusan kepercayaannya akan berkunjung ke duniamu untuk berbelanja perbekalan yang dibutuhkan oleh orang-orang yang hidup di sini. Salah satu belanjanya adalah beras untuk ditanak menjadi nasi seperti yang kau lihat sekarang ini. Jadi, ini adalah nasi yang dihasilkan padi di duniamu.”
Nazar percaya dengan penjelasan itu—mungkin karena perutnya terasa menjadi amat lapar. Maka kemudian, meski masih dengan sedikit ragu, Nazar mulai menyentuh piring nasinya, lalu mengambil beberapa daging dan lauk-pauk lain yang tersedia di situ, dan memulai makannya. Ia tak tahu apakah itu sarapan pagi atau makan siang. Nazar duduk di ubin ruangan itu, sementara Laras masih duduk di pinggir balai-balai.
“Emping ini juga sangat enak,” ucap Laras sambil memungut beberapa keping emping dari tempatnya, kemudian menikmatinya sambil menatap Nazar yang mulai terlihat nyaman dengan makanannya. “Ibu Ratu sangat menyukai emping, dan beliau suka memberikan emping untuk juga dirasakan rakyatnya di sini.”
Dan Nazar pun bangkit dari duduknya untuk memungut beberapa keping emping untuk menambah lauknya.
“Aku harap kau mulai betah tinggal di sini, Nazar,” kata Laras perlahan sementara nasi di piring Nazar telah banyak berkurang.
“Tidak ada orang yang betah di dalam penjara,” sahut Nazar sambil mengunyah makanannya.
“Tidak selamanya kau berada di tempat ini, Nazar. Setelah kau cukup menerima penjelasan menyangkut keberadaanmu di sini, dan setelah kau merasa nyaman tinggal di sini, kau akan dikeluarkan dari sini untuk bergabung dengan orang lainnya di negeri ini.” Laras lalu turun dari tempatnya duduk di balai-balai, kemudian menghadapi Nazar yang duduk di atas ubin. “Kau harus mulai menerima takdirmu untuk berada di negeri ini, dan kau sudah harus mulai belajar untuk menghadapi kenyataan ini. Kau telah menjadi bagian dari rakyat Ibu Ratu...”
Nazar tersedak dari makannya, kemudian berkata tanpa peduli nasi yang masih ada dalam mulutnya. “Pertanyaannya, Laras, mengapa aku berada di sini?! Aku masih ingin hidup di duniaku sendiri!”
“Itu seharusnya kau tanyakan pada ayahmu,” jawab Laras. “Dialah yang membuatmu berada di sini. Nah, lanjutkan saja makanmu dengan tenang seperti tadi, dan aku akan menjelaskan apa yang ingin kau ketahui.”
Dan Nazar pun patuh.
Bersambung ke: Kisah Terindah di Dunia (18)