Kisah Terindah di Dunia (16)
https://www.naviri.org/2016/08/kisah-terindah-di-dunia-16.html
Naviri.Org - Nazar mengangguk, kemudian menjawab dengan jengkel, “Pertama, aku masih dapat menahan rasa laparku. Kedua, aku tidak tahu apa sebenarnya yang kau suguhkan itu.”
Laras tertawa kecil. “Ini makanan seperti yang biasa kau makan, Nazar. Ini nasi dengan lauk-pauk seperti yang biasa kau nikmati di duniamu. Minuman ini juga sama seperti minuman yang biasa kau teguk di alammu—kalau itu yang kau maksudkan.”
“Dan bagaimana aku bisa percaya dengan ucapanmu?” Nazar telah sering mendengar kisah tentang sesuatu yang wujud dan aslinya bisa begitu berbeda—sesuatu yang kita anggap nasi ternyata bisa saja sesuatu yang jauh berbeda dari hal itu. Ia berada di negeri antah-berantah—segalanya bisa saja mungkin, kan?
Tapi sekali lagi Laras tertawa kecil mendengar ucapan Nazar yang terdengar jengkel itu. “Kau terlalu berburuk sangka, Nazar. Ibu Ratu tidak sejahat yang kau kira. Semuanya ini asli seperti yang kau saksikan. Lihat.” Lalu Laras mencomot secuil daging di atas piring di situ, kemudian mengunyahnya dengan nikmat. “Ini asli daging kambing seperti yang biasa kau makan di duniamu—kalau kau memang biasa makan daging kambing. Rasanya juga tak jauh berbeda dengan yang ada di duniamu, bahkan ini pasti akan lebih enak lagi di lidahmu.”
Nazar melihat Laras mengunyah daging itu, dan seketika rasa lapar yang telah dua hari ditahannya terasa mengaduk-aduk perutnya. Dia sanggup menahan laparnya selama ini dan kuat untuk tidak menyentuh makanan serta minuman yang disuguhkan untuknya karena dia terus berpikir—dan meyakini—bahwa makanan serta minuman itu sesuatu yang tak sama dengan yang dilihatnya. Tapi setelah melihat cara Laras mengunyah daging yang terlihat nikmat itu...
“Aku...aku bisa mempercayai ucapanmu?” tanya Nazar kemudian.
Sekali lagi Laras tertawa kecil. Mungkin ia sudah terbiasa menghadapi orang-orang yang begitu paranoid seperti Nazar ketika baru sampai di negeri itu. (Hm...entahlah, apakah istilah ‘paranoid’ dikenal di negeri itu).
“Kau tidak perlu mempercayaiku,” sahut Laras dengan senyumnya. “Kau hanya perlu mempercayai lidahmu.”
Dan Nazar pun kemudian memberanikan diri untuk mulai menyentuh gelas di atas mejanya. Tenggorokannya telah sangat kering seperti padang pasir. Dengan sedikit ragu-ragu, Nazar mencicipi minuman dari gelas yang tadi baru dibawakan Laras.
“Itu teh hangat manis,” kata Laras, dengan gaya seperti seorang guide yang tengah memberikan penjelasan kepada turis, “salah satu minuman kesukaan orang-orang yang tinggal di sini.”
Nazar memang merasakan sesuatu yang masuk ke dalam mulutnya itu terasa seperti teh di dunianya. Dan ini memang teh hangat yang terasa manis—bahkan rasanya begitu sedap sekaligus nikmat saat terkecap di lidahnya, dan ketika membaui asapnya yang masih terlihat sedikit mengepul, Nazar merasakan hidungnya mencium aroma yang wangi. Orang-orang di negeri ini pasti memiliki selera yang tinggi dalam memilih teh, batin Nazar sambil terus menyesap teh hangat di gelasnya.
Setelah merasa cukup membasahi tenggorokannya—dan setelah merasa cukup yakin bahwa itu benar-benar teh seperti di dunianya—Nazar pun meletakkan gelasnya di atas meja, kemudian mulai menatap makanan-makanan di hadapannya. Ada cukup banyak piring makanan dengan nasi dan lauk-pauknya—sepertinya memang untuk makan selama dua hari. Nazar mencoba menyentuh daging yang kelihatannya dimasak dan dibumbui dengan lezat, dan dengan ragu-ragu mencicipinya.
Laras memperhatikannya dengan penuh minat. “Enak, kan?” tanyanya kemudian sambil memamerkan senyum—entah mengapa hari ini ia banyak tersenyum. “Seperti yang kukatakan tadi, itu daging kambing.”
Bersambung ke: Kisah Terindah di Dunia (17)