Asal Usul Ungkapan “Cinta itu Buta”

 Asal Usul Ungkapan “Cinta itu Buta”

Naviri.Org - Ini ungkapan yang sudah amat sangat terkenal sekali—sebegitu terkenalnya hingga orang pun menjadi “terlalu terbiasa” dengan ungkapan itu, dan kemudian sampai salah-kaprah dalam memahaminya. Love is blind, cinta itu buta. Tetapi benarkah cinta itu buta? Faktanya, cinta memang buta.

Sebelum melangkah lebih lanjut dan agar pemaparan menyangkut topik ini menjadi lebih mudah diresapi, sekarang singkirkan terlebih dulu persepsi “cinta itu buta” yang saat ini ada di dalam pikiranmu, karena bab ini akan membongkar “hakikat” dari istilah itu.

Munculnya ungkapan yang menyatakan bahwa cinta itu buta berawal dari kenyataan bahwa cinta adalah sesuatu yang subjektif. Di dalam cinta, apalagi di dalam cinta yang menggebu-gebu, tidak ada yang namanya objektivitas, kan? Oh, ayolah, masih ingat bagaimana perasaanmu, pikiranmu, bahkan persepsi-persepsimu ketika kau pertama kali jatuh cinta dan tergila-gila pada seseorang? Semuanya serba indah, segalanya begitu sempurna, menawan, tanpa cacat dan cela—dan semua itu terbangun karena adanya unsur subjektivitas di dalam dirimu.

Penelitian yang dilakukan para pakar di London University membuktikan bahwa ketika orang sedang jatuh cinta, maka bagian otaknya yang biasa bersikap kritis akan mengalami “gangguan”, atau tidak dapat lagi berfungsi sebagaimana mestinya. Akibatnya, bagian otak yang “mudah menerima sesuatu” akan lebih aktif, hingga dia pun akan lebih menitikberatkan penilaiannya kepada hal-hal yang ia anggap baik, dan mengabaikan hal-hal buruk yang mungkin mengikutinya.

Secara mudahnya, orang yang sedang jatuh cinta memang tidak bisa berpikir, bersikap dan berbuat secara objektif sebagaimana biasanya. Sementara menurut Helen Fisher, Ph.D., seorang antropolog dari Rutgers University, hal semacam itu terjadi karena adanya hormon dopamine yang mengaktifkan rasa nikmat di pusat otak ketika orang tengah jatuh cinta.

Ketika jatuh cinta, seorang cowok bisa saja mengamuk kalau mendengar ada orang yang menjelek-jelekkan cewek pujaannya, sebagaimana seorang cewek bisa saja “putus hubungan” dengan sahabatnya kalau si sahabat sampai memburuk-burukkan cowok yang tengah dicintainya. Terlepas dari apakah keburukan atau kejelekan yang diungkapkan itu benar ataukah tidak, tetapi kemarahan yang muncul karena hal itu dibangun di atas fondasi subjektivitas. Mungkin terkesan naif, tetapi memang begitulah “tabiat” orang yang sedang jatuh cinta—dan mengapa cinta kemudian disebut “buta”.

Tetapi, nah inilah anehnya, cinta memang harus buta. Karena apabila cinta tidak buta, maka orang akan sulit jatuh cinta. Cinta memang seringkali dibangun di atas subjektivitas—meskipun pada akhirnya orang akan sampai pada cinta yang objektif. Pendeknya, orang memang “dimaklumi” untuk bodoh ketika jatuh cinta—untuk kemudian belajar di dalamnya dan menjadi semakin pintar dan tahu bagaimana memahami cintanya dan juga pasangan yang dicintainya.

Cinta pertama kali digerakkan oleh perasaan, meskipun pada akhirnya pikiran menggantikannya. Di dalam cinta, perasaan (hati) berfungsi untuk menarik dan mendekatkan, sementara pikiran (dan kasih sayang) berfungsi untuk menjaga, merawat dan melestarikannya. Karenanya, ketika orang tengah jatuh cinta, dia kehilangan rasionya untuk berpikir objektif apalagi kritis, dan itulah mengapa orang kemudian bisa jatuh cinta kepada orang yang lainnya.

Bayangkan kalau orang jatuh cinta dengan menggunakan pikiran. Apa yang akan terjadi? Sulit! Karena pikiran menggunakan rasio dan logika, maka orang pun kemudian menjadi kritis kalau jatuh cinta dengan menggunakan pikiran—dan akibatnya dia akan sulit untuk dapat jatuh cinta.

Berbeda dengan orang yang menggunakan perasaan ketika jatuh cinta, maka orang yang menggunakan pikiran untuk jatuh cinta menjadi (tetap) objektif dan juga (tetap) kritis. Akibatnya, dia selalu saja dapat menemukan kekurangan, cacat-cela, dan hal-hal lainnya yang tidak sempurna di matanya dari orang yang ingin dicintainya. Yang menjadi masalah adalah; tidak ada orang yang sempurna karena setiap orang selalu saja memiliki beberapa kekurangan tertentu.

Pernah mendengar ungkapan yang menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat intelektual seseorang, maka ia semakin sulit untuk jatuh cinta? Meskipun ungkapan yang satu ini mungkin masih debatable, tetapi kemungkinan besar hal semacam itu terjadi karena alasan di atas; yakni karena orang jatuh cinta dengan menggunakan pikirannya, dan kemudian dia terlalu kritis dalam menghadapi setiap perasaan cintanya, sekaligus terhadap orang yang ingin dicintainya. Akibatnya tentu sudah jelas; dia menjadi sulit untuk dapat jatuh cinta.

Coba perhatikan fakta kecil ini: Mencintai adalah mengagumi dengan hati—dan mengagumi adalah mencintai dengan pikiran.

Kembali pada ungkapan “cinta itu buta”. Meskipun mungkin ungkapan ini berkesan negatif, tetapi sesungguhnya itu mengandung pesan yang positif; bahwa kita hanya akan dapat melihat keindahan, kecantikan, kelebihan dan hal-hal positif lainnya jika didasari dengan cinta. Sebagaimana kebencian menjadikan segala yang baik menjadi buruk, maka cinta pun begitu.

Cintalah yang menjadikan kekurangan-kekurangan yang manusiawi dapat dimaklumi dan dimaafkan. Cintalah yang menyebabkan perjalanan jauh dan melelahkan menjadi terasa indah dan menyenangkan. Cinta pulalah yang mendorong seseorang rela melakukan pengorbanan dan hal-hal besar lainnya demi orang yang dicintainya. Kekuatan apa yang sanggup mengubah penderitaan menjadi sesuatu yang dianggap layak untuk dijalani selain cinta…?

Jadi, cinta itu memang buta? Ya, tetapi cinta kan tidak berhenti sampai di situ. Sebagaimana yang telah dinyatakan di atas, meskipun cinta memang seringkali dibangun di atas subjektivitas, namun pada akhirnya orang akan sampai pada cinta yang objektif. Meskipun orang memang “dimaklumi” untuk bodoh dan buta ketika jatuh cinta, namun ia akan belajar di dalamnya untuk menjadi semakin pintar dan tahu bagaimana memahami cintanya dan juga pasangan yang dicintainya.

Seiring dengan perjalanan waktu, cinta yang buta itu toh akan mulai memiliki mata. Ketika beberapa bulan baru jadian, mungkin sepasang cowok-cewek hanya melihat kesempurnaan pasangannya.

Tetapi, sekali lagi, seiring dengan berjalannya waktu, masing-masing dari mereka akan mulai terbuka mata kesadarannya untuk mengetahui dan mulai mengenali bahwa pasangannya tetap manusia biasa—yang mungkin memiliki kelebihan yang layak dibanggakan, namun juga tetap memiliki kekurangan yang harus dimaklumi dan dimaafkan. Ketika sampai pada kesadaran semacam itu, cinta yang buta itu pun mulai memiliki mata, perasaan akan mulai digantikan oleh pikiran, dan cinta akan bertumbuh menjadi rasa saling pengertian.

Kakek dan nenek kita mungkin tidak lagi memiliki daya tarik dan pesona fisik yang membuat mereka saling tergila-gila seperti ketika dulu mereka saling jatuh cinta. Tetapi mereka bertahan, kan? Karena cinta memberikan pelajarannya kepada mereka—dan mereka belajar di dalamnya.

Baca juga: Ini Penyebab Kita Senang Saat Berdekatan dengan Pacar

Related

Relationship 1773475574797579084

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item